TERBITJABAR.COM | PSIKOLOGI- Kepemimpinan sejati tidak membutuhkan amarah untuk menunjukkan kuasa. Kadang, senyum dan pujian justru menyimpan bentuk kendali yang paling mengakar yang bekerja secara halus namun menguras kendali diri.
Psikolog George K. Simon dalam bukunya, menyebutnya sebagai manipulasi terselubung bentuk agresi yang sukar dikenali karena dibungkus dengan keramahan dan logika. Bahkan, menurut Arbinger Institute dalam Leadership and Self-Deception, banyak pemimpin tak menyadari bahwa mereka tengah memanipulasi, karena percaya tindakan mereka demi “kebaikan bersama.”
Bayangkan seseorang yang disiplin, berdedikasi, dan berkinerja baik. Namun, hanya karena menolak lembur tanpa bayaran, lingkungan kerjanya berubah dingin.
Ia tak diundang ke rapat, pendapatnya diabaikan, dan saat evaluasi, pujian manis diselipi sindiran terselubung seperti, “Tapi saya kira kamu bisa lebih loyal seperti dulu.”
Kalimat itu terdengar positif. Padahal, di baliknya ada tekanan yang membuat seseorang tak punya ruang untuk membela diri. Inilah bentuk kontrol pasif-agresif yang sering luput dari kesadaran.
Pujian yang Menyamar Sebagai Beban
Ucapan seperti “Kamu paling bisa diandalkan” bisa jadi bentuk tekanan agar kamu mengambil tanggung jawab ekstra tanpa diskusi. Ini bukan apresiasi, tapi ekspektasi tersembunyi.
Frasa Ambigu yang Memancing Rasa Takut
Ucapan seperti “Lihat saja nanti hasilnya” atau “Saya percaya kamu tahu yang terbaik” menempatkan tekanan psikologis tanpa petunjuk yang jelas. Jika gagal, kamu disalahkan karena tidak “peka.”
Tugas diberikan tanpa tenggat, tapi kamu dimarahi karena lambat. Ini menciptakan rasa waswas, membuatmu bergantung pada validasi atasan dan meragukan instingmu sendiri.
Loyalitas yang Dimanipulasi
Saat kamu menolak permintaan pribadi di luar jam kerja, kamu disindir soal “komitmen tim” atau “visi bersama”. Rasanya bersalah karena sekadar menjaga batas.
Kompetisi Terselubung yang Mengadu Rekan Kerja
Atasan menyebut rekan lain sebagai teladan, padahal kamu pun sudah bekerja keras. Tujuannya bukan apresiasi, tapi menciptakan kecemasan agar semua berlomba cari pengakuan.
Dalam dunia kerja, kontrol tidak selalu datang lewat perintah keras. Yang paling merusak adalah kendali yang diselubungi empati palsu, pujian manis, dan kedekatan semu.
Jika kamu merasa bersalah saat mengatakan “tidak,” mungkin saatnya bertanya: siapa yang sebenarnya memegang kendali.














